Oleh :
Kasru Susilo
Abstrak
Tulisan ini memberikan gambaran tentang konsep pengembangan wilayah, arah dan startegi pengembangan wilayah serta prospek sistem informasi geografis dalam pengembangan wilayah dalam era otonomi daerah. Dalam tulisan ini pengembangan wilayah diartikan dengan upaya pemberdayaan manusia atau stake holders dengan pendekatan sistem. Membangun sistem berarti menumbuhkan sikap taat asas dan taat aturan, bukan sekedar mewujudkan produk. Hal ini berarti membina dan menumbuhkan etika untuk menggapai hasil, bukan asal mencapai hasil, apalagi menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini peran informasi yang berreferensi geografis yang terstruktur dan mudah didapat menjadi penting. Namun pada akhirnya pengembangan sistem informasi geografis akan sangat bergantung pada kesiapan kita sendiri, khususnya profesional yang bergerak dalam dunia sistem informasi.
1. Pendahuluan
Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut MT Zen dalam buku Tiga Pilar Pengembangan Wilayah (1999) pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang digunakan.
Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stake holders (masyarakat, Pemerintah, Pengusaha) di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi. Dengan lebih tegas MT Zen menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri.
Dalam konteks ini sistem informasi merupakan instrument atau alat untuk memberdayakan rakyat. Sebagai instrument, sistem informasi harus mempermudah dan memperlancar proses pemberdayaan rakyat, bukan menghambat atau malahan memberi masalah. Dengan demikian Sistem Informasi Geografi (SIG) yang merupakan tatanan dalam mem-provide data, mengelola, memproses dan menyajikan informasi, harus mudah dan praktis (user friendly) digunakan. Pembangunan sistem harus diorientasikan pada proses pemberdayaan rakyat tersebut, yaitu dengan antara lain memperlancar dan memperpendek birokrasi, bukan membangun sistem for the sake of sistem them self, seperti yang banyak kita jumpai. Karena pada hakekatnya membangun sistem berarti menumbuhkan sikap taat asas dan taat aturan, bukan sekedar mewujudkan produk. Hal ini berarti membina dan menumbuhkan etika untuk menggapai hasil, bukan asal mencapai hasil, apalagi menghalalkan segala cara, yang akan lebih cenderung machiaveli’s.
Untuk itu, membangun Sistem Informasi Geografi berarti membangun 4 (empat) aspek utama secara totalitas, seperti yang disebutkan oleh Dangermond, J (Fundamentals of GIS, 1983), yaitu (1) aspek data, (2) aspek SDM, (3) aspek perangkat atau software dan hardware, dan (4) aspek institusi yang diwujudkan dalam bentuk kelembagaan dan tatalaksananya. Empat aspek tersebut menyatu dan tidak bisa dipisahkan. SIG tidak bisa hanya terdiri dari data dan SDM atau data dan alat atau perangkat saja, jadi harus mencakup semua aspek di atas. Apabila dicermati berdasar aspek tersebut, maka prospek SIG dalam pengembangan wilayah sangatlah menantang.
2. Konsep Pengembangan Wilayah
Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Jadi pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stake holders di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdya alam dengan teknologi untuk memberi nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan SDM dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan memanfaatkan instrument yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan resources. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia, muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah resources yang melimpah.
Konsep Marshal Plan yang berhasil menuntun pembangunan Eropa setelah PD II telah mendorong banyak negara berkembang untuk berkiblat dan menerapkan konsep tersebut. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa konsep ini membawa kegagalan dalam menciptakan pembangunan secara merata antar daerah. Secara geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara dramatis, sementara beberapa pusat pertumbuhan lainnya masih jauh tertinggal atau jauh dari kemampuan berkembang.
Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pada aspek inilah SIG mempunyai peran yang cukup strategis, karena SIG mampu menyajikan aspek spasial (keruangan) dari fenomena atau fakta yang dikaji.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah yang didasarkan pada penataan ruang.
Dalam kaitan itu ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain people center approach yang menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah bermetamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999). Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus.
Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah yang kurang berkembang.
3. Visi dan Misi Pengembangan
Wilayah
Sampai sekarang Visi dan misi pengembangan wilayah nampaknya belum baku. Sebagai gambaran dapat disampaikan visi dan misi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Visi tersebut adalah terwujudnya keselarasan pembangunan dan keserasian pertumbuhan wilayah regional, perkotaan , dan perdesaan yang diselenggarakan secara holistik, berkelanjutan , berwawasan lingkungan dan memberdayakan masyarakat. Termasuk didalamnya Permukiman untuk semua orang, yang layak huni, terjangkau, berjati diri dan mendorong produktivitas warganya.
Sedangkan misinya adalah :
• Penyelenggaraan PENGATURAN, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN dalam rangka perwujudan manfaat pembangunan permukiman dan pengembangan wilayah bagi kesejahteraan masyarakat
• Peningkatan kemampuan DAERAH yang lebih profesional, mandiri dan akuntabel dalam pembangunan
• Pemberdayaan MASYARAKAT dalam pembangunan yang diselenggarakan secara transparan
• Penciptaan iklim yang konduktif bagi DUNIA USAHA berperan aktif dalam pembangunan
• Pengembangan sinergi antar PENYELENGGARA PEMBANGUNAN untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal
4. Globalisasi dan Otonomi Daerah
Perkembangan teknologi informasi sangat pesat dan menyebar hampir tanpa kendali. Peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang berjarak ribuan kilometer dapat disaksikan hanya dalam selisih detik atau bahkan secara bersamaan di sini, seperti yang belum lama kita saksikan dengan peluncuran Windows 2000, Khutbah Idul Adha di Mekah, dan bahkan komunikasi dengan Astronot di luar angkasa. Begitu bebasnya masyarakat memperoleh informasi. Kondisi ini suka atau tidak suka akan mempengaruhi pola berfikir masyarakat kita. Pada gilirannya akan terjadi perubahan kultur masyarakat kita, yang akan cenderung menjadi kultur masyarakat global. Masyarakat global adalah masyarakat yang bukan berbatas pada wilayah fisik administrasi atau wilayah fungsional, tetapi masyarakat maya atau masyarakat yang mendunia.
Kegiatan, perilaku dan kebutuhannya tidak hanya didasarkan pada komoditas lokal yang tersedia di kanan-kirinya, tetapi sudah mengabaikan dimensi jarak fisik. Kondisi ini bisa dicontohkan dengan begitu mudahnya mendapatkan sebungkus kopi dari Negeri Brasil yang dicari dari Internet daripada di swalayan di sekitar tempat tinggalnya. Begitu gampangnya orang bertransaksi atau membayar barang melalui e-commerce atau mendapatkan buku dari pengarang aslinya di Amerika melalui internet daripada mencari di Toko Buku di kota tempat tinggalnya yang terkadang masih terhalang oleh kemacetan lalu lintas. Kenyatan-kenyataan tersebut sudah bukan mimpi lagi, tetapi telah bergulir di masyarakat kita.
Perubahan perilaku tersebut tidak hanya akan mempengaruhi perubahan pola kebutuhan saja, tetapi masyarakat akan bisa berkiblat pada produk luar negeri seperti mencari tenaga ahli luar negeri yang dianggap lebih baik, memakai barang-barang luar negeri yang dianggap lebih murah, lebih berkualitas dan sebagainya. Akibat lebih lanjut dari sikap tersebut akan merubah visi, misi dan juga pola pengembangan wilayah. Kondisi ini akan semakin dipercepat oleh paradigma otonomi daerah yang mendorong keleluasaan stake holders, yang terdiri dari masyarakat, pengusaha dan Pemerintah Daerah, dalam mengembangkan wilayah masing-masing.
Apabila tidak disikapi dengan hati-hati, maka kondisi tersebut bisa mendorong kearah perkembangan wilayah yang kurang sehat. Ujung akhir dari peristiwa ini adalah disintegrasi bangsa. Untuk itulah kelancaran arus informasi dari dan antar daerah dan juga dengan Pusat sangat penting maknanya untuk membuat policy yang tepat.
Dalam kaitan tersebut Kimio Uno (UNCRD, 1996) berpendapat bahwa pembangunan sistem data base, khususnya untuk kota metropolitan, menjadi sangat penting. Sistem data base yang dimaksud adalah yang bisa dikomunikasikan melalui jaringan komputer atau internet. Dengan demikian sinergi dengan kota-kota atau wilayah-wilayah lainnya akan terwujud. Dalam pengembangan sistem data base tersebut, Uno mengusulkan peran Universitas di daerah-daerah harus ditingkatkan, karena pada lembaga pendidikan tersebut tenaga terdidik, khususnya dalam bidang sistem informasi, banyak didapatkan.
Mengingat begitu luas wilayah Indonesia, maka pengembangan sistem data base atau sistem informasi yang berbasis telekomunikasi atau yang sering disebut dengan sistem informasi online atau sistem informasi dinamis akan menemui beberapa kendala yang cukup berarti. Kendala tersebut antara lain didasarkan pada kenyataan belum lancarnya telekomunikasi, khususnya komunikasi data, di seluruh kota dan kabupaten di Indonesia, walau di seluruh kota dan kabupaten sudah tersedia line telpon. Hal ini tidak hanya masalah bandwidth saja tetapi juga adanya gangguan-gangguan teknis lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut, tepat sekali rencana pembangunan prasarana telematika Indonesia, yang kalau saja tidak terhalang krisis ekonomi akan mengarah kepada terwujudnya prasarana informasi berupa (Gambaran Umum Pembangunan Telematika Indonesia, 1996):
a) adi marga kepulauan, yang akan menghubungkan seluruh ibukota propinsi
b) kota multimedia, yang akan dikembangkan di kota-kota besar pusat-pusat kegiatan ekonomi, perdagangan serta sosial, dan
c) pusat akses masyarakat multimedia nusantara, yang merupakan bentuk layanan umum seperti pusat layanan telpon umum pita lebar, network e-library, dan kios multimedia.
Belajar dari itu semua, seharusnya pendekatan pengembangan wilayah di Indonesia harus dilakukan secara holistik, pro-bisnis dan berkelanjutan, agar pengembangan wilayah bisa benar-benar memberdayakan rakyat atau mensejahterakan rakyat. Ini berarti bahwa kebijaksanaan pengembangan wilayah di masa mendatang harus berorientasi atau berpihak pada rakyat, bukan semata berdasar pertimbangan profit atau ekonomis.
5. Kondisi SIG di Indonesia
Apabila dikaji berdasar aspek diatas, maka SIG di Indonesia masih bisa dikelompokkan dalam kategori sedang berkembang. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan seperti misalnya keberadaan data, yang katanya banyak sekali tetapi selalu susah dicari saat diperlukan. Ini berarti data geografis di Indonesia masih jauh dari tertata. Disamping itu struktur dan format serta pengelolaan datanya masih sangat beragam. Walau sudah banyak ditemui software dan hardware yang relatif canggih di beberapa perkantoran, tetapi lebih dari 90% masih berasal dari luar. Kita masih dalam kategori pengguna, belum jadi pemasok software dan hardware. SDM kita kebanyakan masih belum mampu membuat atau belum diberi banyak kesempatan untuk membuat software dan hardware sesuai dengan demand Indonesia. Jumlah SDM pun tak sebanding dengan kebutuhan yang seharusnya. Lagi pula dengan jumlah tersebut tak menyebar di wilayah-wilayah otonomi (Henny Liliwati dan M. Dimyati, 1999).
Bukan hanya aspek itu saja, tetapi aturan main pertukaran data antar institusi juga belum duduk, pengelola data dan informasi di institusi satu dengan yang lain masih sering bertabrakan dalam pengadaan dan juga pengelolaan data. Ini berarti deskripsi kerja dalam pengelolaan data secara nasional, khususnya ketentuan tentang siapa mengerjakan apa juga belum duduk dengan baik. Kondisi tersebut masih didukung oleh lambannya pelimpahan kewenangan pada lapisan manajemen menengah ke bawah.
Di sisi lain perkembangan teknologi informasi yang sudah merambah sampai ke rumah tangga dengan e-commerce dan e-education terus berjalan. Dibandingkan dengan negara maju kita masih ketinggalan, khususnya dalam memanfaatkan jaringan komunikasi data untuk aplikasi SIG secara on-line. Bukan hanya dalam bidang tersebut, tetapi dalam bidang aplikasi kita juga masih jauh tertinggal dari kerabat di negeri seberang. Tertinggal pula dalam bidang pemrograman maupun dalam pengembangan permodelannya. Dengan kondisi tersebut, konsekuensinya suka atau tidak suka kita akan segera berhadapan dengan pakar manca negara yang pasti akan bertebaran di wilayah-wilayah kita pada era perdagangan bebas (AFTA 2002). Mereka sebagai tenaga ahli atau profesional yang telah bersertifikat internasional akan menjajakan keahlian dan ketrampilannya dengan murah dan piawai di negeri tercinta ini, tanpa ada aturan yang bisa membatasi karena adanya komitmen internasional tentang pasar bebas.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan SIG di Indonesia masih berlangsung dominan pada level dijitasi atau konversi data ke format dijital dan penayangan informasi dalam format warna-warni. Perkembangannya masih jauh dari tahap permodelan yang aplikatif, apalagi pada tahap pemanfaatan teknologi informasi secara on-line. Hal ini diperkuat dengan materi bahasan pada Rakornas SIG V (Maret) yang lalu masih bicara metadata, direktori dan sosialisasi Peraturan Pemerintah.
Berbeda dengan perkembangan pemanfaatan SIG di negara maju yang sudah cukup memasyarakat. Di sebagian negara maju sudah memadukan teknologi SIG dengan GPS sehingga dengan mudahnya mereka memanfaatkannya untuk penunjuk jalan pada saat bepergian menggunakan mobil. Dengan teknologi tersebut mereka bisa dengan mudah menghindarkan kemacetan dan dengan mudah pula mencari alternatif rute perjalanan seperti yang mereka inginkan. Walau masih jauh, bukannya tidak mungkin teknologi tersebut diterapkan di Indonesia dalam waktu dekat.
6. Hubungan Pengembangan Wilayah dan Sistem Informasi
Telah disebutkan di atas bahwa pengembangan wilayah merupakan proses pemberdayaan rakyat untuk mencapai kualitas hidup lebih baik. Yang dimaksud pemberdayaan dalam konteks ini adalah pemberdayaan stake holders yang terdiri dari masyarakat, pengusaha dan Pemerintah. Di dalam prosesnya untuk mencapai kesejahteraan, stake holders tersebut akan memanfaatkan sumberdaya alam dengan instrument yang dimiliki. Untuk mencapai harmonisasi maka pemanfaatan sumberdaya alam tersebut harus mempertimbangkan daya dukung lingkungannya.
Dalam proses pemberdayaan di atas diperlukan input. Input tersebut bisa berupa sumberdaya alam dengan seluruh inovasinya. Hasilnya akan merupakan output yang telah merupakan jelmaan dari input yang telah bernilai tambah. Rangkaian Input-Proses dan Output tersebut disebut sistem. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan sistem adalah sistem informasi. Gambaran hubungan pengembangan wilayah dan sistem informasi ditunjukkan pada Gambar 1.
7. Prospek SIG dalam Pengembangan Wilayah
Selain wilayahnya sangat luas, Indonesia mempunyai penduduk yang sangat besar. Kondisi ini akan berimplikasi pada besarnya kegiatan penduduk dan luas persebaran kegiatannya. Untuk membangun daerah yang sangat luas dan sangat heterogen seperti Indoensia diperlukan data yang baik dan berakurasi serta mudah dicari pada waktu digunakan.
Uraian di atas menjelaskan bahwa kondisi data di Indonesia, termasuk data geografisnya, belum tertata dengan baik atau belum tersistematisasi dan belum terstruktur dengan benar. Mekanisme pertukaran antar institusi atau kelembagaan dan ketatalaksanaannya juga belum sebaik yang diharapkan. Hal ini antara lain yang menyebabkan terciptanya pameo bahwa data ada dimana-mana tetapi tak ada dimana-mana saat diperlukan. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan belum lancarnya teknologi pertukaran data, khususnya data geografis, melalui sistem jaringan atau melalui internet. Padahal paradigma globalisasi mendesak keberadaan dan kelancaran komunikasi data, termasuk data geografis tersebut, melalui internet.
Kualitas dan juga kuantitas SDM yang bergerak atau profesional dalam bidang sistem informasi kurang memadai. Kondisi ini diperparah oleh belum merata penyebarannya di daerah-daerah otonom yang akan menjadi ujung tombak pengembangan wilayah di masa depan. Padahal dalam era otonomi ke depan, jumlah dan kualitas SDM di daerah sangat dituntut keberadaannya.
Selain itu kondisi perangkat yang berupa software dan hardware, walau sudah ada di pasaran, tetapi masih belum bisa dijangkau secara murah dan mudah oleh daerah-daerah. Padahal keberadaan perangkat akan merupakan modal pokok untuk bisa mengoperasikan sistem informasi.
Kelembagaan dan ketatalaksanaan yang mendukung kelancaran bidang sistem informasi juga masih sangat langka. Padahal keberadaannya akan merupakan kunci dari kelancaran pengembangan sistem informasi secara menyeluruh, khususnya dalam pengembangan wilayah di era mendatang.
Melihat kondisi ini maka prospek sistem informasi, khususnya sistem informasi geografi atau lebih khusus lagi SIG on-line dalam pengembangan wilayah, khususnya di Indoensia sangat menantang, kalau tidak boleh dibilang sangat baik. Namun sekali lagi, sebenarnya bicara tentang prospek SIG ini akan sangat tergantung pada kita sendiri, khususnya profesional yang bergerak dalam dunia sistem informasi itu sendiri. Kenyataan tersebut akan bisa menjadi tantangan yang sekaligus merupakan peluang kita bersama untuk mendudukkan dalam konteks yang tepat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar